Antara Eksistensi dan Prestasi




“Bu, kenapa parkirnya jauh sekali? Kakiku jadi pegel kan,” Raya mengomel tersebab ibunya menjemput gadis itu seperti buronan. Mengendap-endap di tempat yang tak banyak orang berlalu lalang. Konon tempat itu sering dijadikan tongkrongan orang-orang ‘nakal’.
Wanita paruh baya itu hanya melontarkan senyum.
“Ibu, besok jemputnya di depan tempat les aja. Nganter Raya juga sampai depan sana, jangan di tempat seperti ini. Kalau pas Ibu sendirian trus tiba-tiba ada preman atau penjahat gimana coba? Tempat sepi seperti ini kan rawan.”
“Ayo naik, kita segera pulang. Nanti keburu ada preman, hehe.” Ibu malah mengalihkan pembicaraan dengan bergurau.
Raya menghela napas, rasanya masih ingin mengeluarkan uneg-uneg yang tertahan dalam dada. Ia jelas tahu apa yang menjadikan ibunya tak mau mengantarkan atau menjemput dirinya tepat di depan tempat les. Tapi, tahan dulu lah. Semakin lama di tempat itu membuat bulu kuduk berdiri. Buru-buru ia mengenakan helm dan naik ke atas motor.
“Bu, janji ya besok jangan nurunin Raya di tempat yang tadi lagi,” pinta Raya sewaktu di pertengahan jalan.
Ibu hanya diam. Tidak mendengar atau pura-pura tak mendengar? Entah.
“Ya Bu?” Raya memohon sambil mengeratkan pelukannya dari belakang.
Senyap. Hanya terdengar deru motor tua kendaraan mereka. dan Raya hanya merasakan tubuh ibunya menegang. Pertanda memang ada sesuatu yang disembunyikan.
******
Ternyata esoknya tidak seperti yang Raya damba. Ibu masih enggan melakukan apa yang dipinta Raya. Permintaan sepele, tapi mungkin tidak bagi ibu.
“Bu, kenapa ngantar Raya setengah-setengah sih? Ayo, sampai sana saja.” Raya bersikeras tidak mau turun dari motor.
“Raya, turun. Nanti kamu telat masuk!” Bentak ibu saking kesalnya.
“Gak mau!”
“Turun!”
“Gak mau!”
“Raya turun! Sudah jam berapa sekarang? Nanti kamu telat!”
“Ya sudah, makanya ibu antarkan ke sana. Kan simple. Raya tuh gak bakal malu Ibu, mau dianterin pakai motor butut atau pakai sepeda ontel sekalipun Raya gak akan malu di hadapan temen-temen yang naik kendaraan bak putri presiden. Raya gak takut kalopun mereka mau ngeledek, hina atau apapun. Karena yang Raya takutin cuma satu. Hiks...” Akhirnya pertahanan Raya hancur, emosinya melebur.
Sang ibu hanya termangu. Dalam hati bertanya, mengapa putrinya tahu ketakutan yang rapat-rapat ia sembunyikan dalam dada.
“Raya takut tidak menggores hati Ibu, hingga tertahan tidak bisa masuk surga,” lanjut Raya sambil sesenggukan dan memeluk erat ibunya.
Akhirnya ibu luluh dan mau mengantarkan Raya sampai di depan tempat les. Benar saja, begitu ia turun dari motor, semua mata langsung mengarah padanya. Jelas, tempat les tersebut memang terkenal dengan kalangan elit dan kualitas nomor wahid. Hanya orang-orang berdompet tebal yang mampu dan mau mengkursuskan berbagai mata pelajaran di tempat itu.
Raya tak peduli dengan tatapan-tatapan beragam makna yang menghujaninya. Toh, di sini ia bukan pencuri. Ia pakai baju sopan. Tidak perlu bersembunyi dan malu.
“Ray, dianter pembantu?” salah seorang teman Raya bertanya.
“Bukan dia ibuku.” Jawab Raya tanpa ragu.
Raya memang terlahir dari keluarga kecil. Tapi ia punya mimpi besar. Tak peduli saat ini ramai kawan-kawannya berlomba untuk meningkatkan eksistensi, Raya akan fokus mengejar prestasi. Dan dapat mengenyam bimbingan belajar di tempat inipun dilakukan bukan karena memiliki banyak uang, tapi karena rekomendasi sekolah akibat banyaknya prestasi yang ia raih. Sehingga sekolah memiliki harapan besar dan mendukung penuh cita-cita Raya untuk memasuki gerbang kuliah dengan mudah.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop
#Tugaslevel2_tantangan3

10 komentar: