MEMBALUT DUKA DENGAN LUKA

Image result for gambar hati yang luka
               


“Aku sudah punya dia,” ungkapmu kala itu. Memecah tawaku atas canda yang kau lontarkan sebelumnya.

Aku langsung termangu, terkaan yang selama satu tahun kemarin akhirnya menjadi nyata. Kaget memang, tetapi mencoba untuk memaklumi. Karena aku sudah menduganya, paras sempurna sepertimu mustahil belum dimiliki.

“Tapi aku mencintaimu,” lanjutnya, tangannya menggapai tanganku. 

Perasaan dalam dada memberontak. Luapannya akhirnya tumpah lewat sudut mata.

Bersamaan dengan itu, jemarimu kian erat menggenggamku.

“Apakah kau masih bersedia segenap hati tuk menemaniku?” tanyamu.

Aku menunduk. Membiarkan derasnya air yang mengucur dari mata satu per satu jatuh menerpa rok bermotif bunga-bunga yang panjangnya selutut. Aku juga mencintaimu. Dari dulu, bahkan sejak kali pertama bertemu. Sungguh tak kuasa tuk mengungkap kalimat itu melalui lisanku.

“Nuna, masih kah kau bersedia menemani hari-hariku?” 

                Setelah lama membisu, akhirnya kepalaku mengangguk kecil.

               Bola matamu membesar bersamaan dengan senyum yang mengembang dibibir. Hingga senyuman itu sempurna membuat lengkungan seperti bulan Sabit.

                “Untuk hari ini saja,” tuturku, membuat bulan Sabit itu sirna dalam sekejab berganti awan kelabu menggelayut di wajahmu.

                Perlahan kulepas jemari dari genggamanmu. Berusaha tuk abai dari tatapan yang mengiba. 

                “Aku wanita. Sama seperti kekasihmu,” ucapku dengan suara parau bebarengan dengan sesenggukan yang kian menjadi.

                Giliran kamu yang termangu. Tatapan iba yang memohon itu kemudian beralih mengarah ke lantai.
                “Aku tahu dia sangat mencintaimu, sama seperti cintamu kepadanya ...”

                “Tetapi itu dulu! Tidak dengan saat ini!” potongmu dengan intonasi meninggi.

                “Dengarkan aku dulu ...”

                “Dia pembunuh!” selamu lagi dengan murka yang amat terlihat jelas dari sorot matamu.

                “Tidak Roy, itu bukan kesalahannya. Justru Ibumu yang berusaha kuat tuk melenyapkan wanita kesayanganmu,” aku berusaha untuk tidak ikut-ikut meninggikan intonasiku,  menahan geram demi memahamkan Roy atas fakta sebenarnya. 

                “Jaga bicaramu! Tahu apa dengan kejadian itu?” Tanyamu dengan ketus sekaligus tidak terima manusia yang telah melahirkanmu disalahkan.

                 “Aku sahabat kekasihmu! Aku juga menyaksikan sendiri kejadian itu, Roy! Tetapi seluruh keluargamu sudah terlanjur menyalahkannya. Aku ingin membantu menceritakan seluruh kronologis kejadian pada waktu itu. Tetapi langkahku terlanjur membeku. Melihat kemarahan yang menghujani wanitamu. Dan kala itu masa lalu seakan berputar kembali, merasa seakan diriku yang tengah berada di posisi istrimu. Dengan terpaksa aku melarikan diri.”

                “Apa katamu? Sa-sa-sahabat?”

Bersambung.....

#OneDayOnePost
#ODOPbatch5