Kamu memelukku. Tiba-tiba. Sedikit terkejut
memang. Tetapi, aku mulai terbiasa dengan sikapmu yang seperti itu setiap kali
berjumpa. Bahkan sesekali kau juga mengecup ubun-ubunku dengan begitu
mesra. Tentu saja. Aku bisa merasakan betapa kau sangat menyayangiku.
Kebersamaan kami, tak terhitung lamanya. Jika
sudah bersama, dunia beserta isinya seakan hanya kami yang punya. Canda, tawa,
bahagia. Tak pernah aku melihat gurat kesedihan terlukis di parasmu yang teramat sempurna.
Saking sempurnanya, terkadang aku
menjadi ragu. Perasaan ini seharusnya tak pernah ada. Tetapi, rasanya takdir
tetap menginginkannya. Bahkan, akarnya menghujam begitu kuat, batangnya menjulang
tinggi, rantingnya bercabang, dan dedaunannya pun rindang. Oh, Tuhan!
Hingga menginjak tahun ke sepuluh, sesuatu
yang selama ini menghantui malam-malam panjangku akhirnya menjadi realita.
“Honey, jangan ganggu kami. Pergi!”
Seumur-umur baru kali ini kamu mengusirku. Meski kau masih enggan tuk memanggilku
dengan nama kesayangan yang kamu berikan.
Sangat-sangat-sangat SAKIT. Kalau saja
emosi tidak kuredam. Mungkin wajah kekasih barumu bisa kubuat menjadi seperti
daging cincang.
Hanya karena dia, cinta menguap dari
permukaan hatimu. Hingga tak tersisa barang sebesar titik dalam tanda baca. Untukku. Sungguh kejam!
Kau lebih memilih dia, sesosok yang baru
seminggu kau kenal. Aku, yang sepuluh tahun bersama, malah kau sia-siakan. Di
mana hati nuranimu?
“Jangan terlalu kasar. Aku memang tak suka
dengan kucing. Tetapi, bukan berarti aku rela melihat ada yang sampai menyakitinya.
Karena, bagaimana pun kucing adalah hewan kesayangan Rasulullah.”
Cih! Seharusnya wanita itu tak perlu
membelaku. Dasar tukang cari muka!
*********
“Itulah yang dinamakan batas. Cintamu
padanya takkan melebihi batas antara majikan dan hewan peliharaan. Sudah ribuan
kali aku mengingatkan hal ini kepadamu. Tetapi, kau selalu bersikap seolah-olah
tak mahu tahu,” Belang, si kucing kampung tiba-tiba muncul di sisiku.
Hei! bagaimana ia tahu kalau aku di sini.
Di tempat yang paling sepi dan menjijikkan. Padahal tubuhku sudah terhalangi
oleh tembok besar berbahan plastik yang mengeluarkan aroma sangar. Bagaimana
bisa?
“Jangan terkejut Anggora. Mungkin bagimu
tempat ini tidak biasa. Tetapi, itu tidak berlaku bagi bangsa kami. Karena berkat
tempat ini, kami masih bisa bertahan hidup hingga hari ini. Dan mungkin mulai hari ini, akan berlaku hal yang sama untukmu. Hahaha,” tawa menggema penuh kemenangan.
**************
#OneDayOnePost_Kelas Fiksi
#Tantangan Pekan 2