Senin yang indah. Hari pertama,
tugas pertama dan sekaligus akan menjadi pengalaman pertama bagi Wina. Gadis berusia
22 tahun dengan segudang prestasi yang membanggakan. Tampilannya selalu
sederhana dengan jilbab terulur menutupi badan. Betapa bahagianya ia. Karena mulai
hari ini resmi menjadi pengajar tetap di sekolah Pertama. Sebuah sekolah
yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.
Seperti biasa, pelajaran diawali
dengan do’a. Setelah itu Wina memperkenalkan diri di depan murid-muridnya yang
rata-rata berusia 6 tahun. Selanjutnya gantian. Murid-murid yang menggemaskan
itu maju satu per satu ke depan kelas. Menyebutkan nama dan cita-cita.
“Per-ke-nal-kan na-ma sa-ya An-dri.
Sa-sa-saya bercita-cita men-menja-di As-tro-not.” Wina tersenyum antusias
memerhatikan murid laki-laki berkacamata yang ditunjuk agar maju pertama. Bocah
itu terlihat gugup sekali.
Wina beranjak dari kursinya. Menghampiri
anak tersebut. Menyentuh lembut ke dua bahunya untuk memberikan ketenangan. “Mengapa
kamu ingin menjadi astronot sayang?”
Sekarang Andri bisa menjawab dengan
lebih santai “Aku ingin menjelajahi angkasa Bu Guru.” Wina mengangguk.
Selanjutnya sesi perkenalan
berlangsung terus-menerus secara tertib.
Sungguh, cita-cita mereka amat mulia. Ada yang ingin menjadi
dokter, ada yang ingin menjadi guru, koki, pilot, pengusaha, bahkan presiden. Alasan
yang dilontarkan dari bibir mungil itu pun beragam dan unik. Hingga pada
akhirnya tinggal tersisa satu orang lagi.
“Ayo cantik, silahkan maju ke depan.”
Gadis berparas manis dengan dua
kepang pada rambutnya itu bangkit dan melangkah dengan percaya diri maju ke
depan teman-temannya.
“Nama saya Mayang Bu Guru,” ucapnya.
“Cita-cita kamu jadi apa nak? Guru,
dokter, atau apa?”
Mayang tidak langsung menjawab. Ia diam
sejenak dengan kepala tertunduk.
“Mayang malu Bu menyebutkannya,”
wajahnya yang di awal nampak ceria kini berubah menjadi mendung.
“Loh, kenapa?” Wina meraih kedua tangan Mayang. “Apa pun cita-cita
kamu teman-teman tidak akan menertawakannya. Benar begitu teman-teman?”
“Benar Bu!” seisi ruangan tersebut
menjawab kompak dengan suara lantang.
Mayang menatap Wina dengan
ragu-ragu. “Tidak apa-apa sayang.”
“Saya ingin menjadi seperti layang-layang.”
Seketika ruangan berukuran 9 x 8 meter itu dipenuhi oleh gema tawa.
Wina juga hampir tertawa mendengar jawaban polos yang diucapkan Mayang, tetapi
begitu melihat mata Mayang berkaca-kaca ia tidak jadi
melakukannya. Ia teringat dengan kata-katanya sendiri. Bukankah tadi ia yang
menyuruh seluruh muridnya untuk tidak tertawa atas apa pun jawaban yang
diberikan Mayang?
Wina segera memberikan intrupsi kepada murid-muridnya untuk diam,
kembali tenang. Dan tangis Mayang pecah. Teman-teman Mayang yang tadi
menertawakan jadi merasa bersalah. Wajahnya tegang. Jangan-jangan setelah ini
mereka akan dapat hukuman gara-gara membuat salah satu temannya menangis.
“Mayang, maafkan teman-teman ya,” Wina memeluk hangat gadis
berkepang dua itu. Ya Tuhan, harusnya tadi aku tidak memaksa gadis ini untuk
menyebutkan cita-citanya.
“Mayang tidak menangis karena itu Bu Guru, Mayang sedih karena
ingat Bapak. Hiks... Hiks..,” jawab Mayang dengan isak memilukan.
“Mayang, jangan pernah bersedih ya kalau kita hidup dengan segala
kesederhanaan. Kamu tahu layang-layang kan? Lihatlah, ia hanyalah benda yang
terbuat dari bahan-bahan sederhana tapi bisa terbang mengangkasa. Tapi ia
terbang tak serta-merta tanpa usaha. Butuh banyak persiapan, butuh
keseimbangan, dan membutuhkan banyak hal. Kamu juga bisa nak. Meski sekarang hidup
sederhana, esok, lusa kamu akan akan terbang menjelajah dunia. Asal tekun
berusaha dan tak berhenti untuk berdo’a.” Itulah pesan Bapak dan selalu terngiang-ngiang oleh Mayang sebelum sang bapak
menutup mata dan pergi untuk selama-lamanya.
#OneDayOnePost
#ODOPbatch5
#Tantangan ke-2
#Coret-coret gak jelas_Ide buntu. hihi
The end
**********************************************************************