Baru kemarin (kalau tidak salah
ingat), sang retina menangkap video amatir yang intinya menayangkan sikap
seorang dosen yang mengintrupsikan salah satu mahasiswanya untuk keluar kelas
hanya karena menyanggah pendapat yang ia paparkan. Setelah tayangan berakhir,
tayangan selanjutnya muncul beberapa netizen yang memberikan komentar ini-itu.
Hasilnya lebih banyak yang kontra akan peristiwa tersebut.
“Kok ada ya?” pasti di benak jutaan
manusia yang menyaksikan video itu akan bertanya-tanya. Tapi, bagiku hal
seperti itu sudah biasa. Karena aku sendiri pernah mengalami dan banyak
mendengar kisah nyata dari beberapa teman. Tak serupa peristiwanya, hanya saja
sikap yang ditunjukan oleh dosen dalam video tersebut tak jauh berbeda dengan
yang pernah dialami oleh beberapa teman.
Salah dua cerita yang benar-benar
nyata pernah sampai kepadaku adalah tentang seorang dosen yang tak suka
mahasiswinya mengenakan jilbab panjang nan lebar. Memang, tidak pernah
sekalipun dosen itu menegur secara langsung. Tetapi, di sela pemaparan materi
yang ia sampaikan, seringkali ada sisipan kalimat yang secara tak langsung
menyidir si mahasiswi berjilbab panjang itu.
Mendengar fenomena tersebut awalnyanya saya terheran-heran. Dulu kata salah satu dosen (lain) pengampu mata kuliah
Sejarah, “Mempelajari sejarah itu banyak manfaatnya, yang salah satunya adalah
menumbuhkan sifat toleransi dalam diri.” Aku setuju dengan argumen tersebut,
sebab kenapa? Karena dengan belajar sejarah kita bisa mengetahui faktor-faktor
positif atau negatif, internal ataupun eksternal, mengenai kenapa suatu
peristiwa bisa terjadi. Jadi, dengan mengetahui seluk beluk tentang sesuatu,
tumbuhlah sikap toleran dalam diri seseorang. Dipastikan ketika ia memandang sesuatu pastilah dilakukan dengan mata dan pikiran
terbuka, serta tidak mungkin pula tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.
Namun, tahukah kalian? Bahwa
sebenarnya dosen yang anti dengan jilbab itu adalah seorang pengampu mata
kuliah Sejarah. Salah satu sindirannya berbunyi “Seharusnya kita bisa
membedakan ya. Mana yang namanya budaya dan mana yang namanya syari’at.” Kalau
kita tilik baik-baik, mengenakan jilbab panjang apakah menimbulkan dampak
banyak mudhorot atau manfaat? (Jawab dalam hati masing-masing). Lantas,
seorang pengampu Sejarah menampak sikap intoleransi seperti itu apakah pantas?
(Jawab masing-masing). Ah ya, mungkin sebatas wajar jika hanya menunjukkan
sikap tak suka dan sindiran seperti di atas. Namun nyatanya hal itu jadi
berdampak pada nilai mahasiswa tersebut. Presensi selalu hadir dan semua tugas
dikerjakan dengan baik. Namun, di akhir yang di dapat tidak seperti nilai
mahasiswa/i lainnya. Mahasiswi berjilbab mendapat nilai paling rendah. Wallahu
‘alam bisshowab.
Kasus ke dua adalah tentang seorang
mahasiswi yang terlalu kritis (banyak bertanya) dan tanggap memberikan komentar
tentang apa yang disampaikan oleh seorang dosen. Selayaknya jika dosen mendapat
feedback mengenai presentasinya, ia senang atau paling tidak sabar
menjawab tanya demi tanya yang diajukan. Mungkin karena jengah atau alasan
lain, pada akhirnya si mahasiswi tersebut mendapatkan nilai akhir yang
menyedihkan. Di awal memang sang dosen mengatakan “Yang penting nurut sama
saya, maka nilai kamu baik-baik saja.” Tetapi, apakah patut hanya karena sering
bertanya jadi menyebabkan ia semena-mena memberi nilai? Wallahu ‘alam bishowab.
Ada ya? Iya, ada. Awal mulanya
mungkin memang tak percaya, tapi toh nyatanya memang benar faktanya. Yeah,
memang tak bisa dipungkiri bahwa di atas muka bumi ini terdapat beragam
peristiwa. Dua kasus di atas hanyalah segelintir orang yang melakukan. Persentasenya
nol koma sekian dari milyaran juta orang.
Tak bermaksud untuk mengumbar
keburukan seseorang. Namun, dengan tulisan ini diharapkan agar kita semua tidak
bertindak serupa dengan hal yang tidak sepatutnya. Percuma menuntut orang lain
untuk bersikap baik jika kita tidak mengawalinya dari diri sendiri. ^^
#OneDayOnePost_ODOP
#September to
Remember_Day 8
Ntaaaps kew👍
BalasHapusNtaaaps kew👍
BalasHapus