“Aku sudah punya dia,” ungkapmu kala itu.
Memecah tawaku atas canda yang kau lontarkan sebelumnya.
Aku langsung termangu, terkaan yang selama satu
tahun kemarin akhirnya menjadi nyata. Kaget memang, tetapi mencoba untuk
memaklumi. Karena aku sudah menduganya, paras sempurna sepertimu mustahil belum
dimiliki.
“Tapi aku mencintaimu,” lanjutnya, tangannya
menggapai tanganku.
Perasaan dalam dada memberontak. Luapannya akhirnya tumpah
lewat sudut mata.
Bersamaan dengan itu, jemarimu kian erat
menggenggamku.
“Apakah kau masih bersedia segenap hati tuk menemaniku?”
tanyamu.
Aku menunduk. Membiarkan derasnya air yang
mengucur dari mata satu per satu jatuh menerpa rok bermotif bunga-bunga yang
panjangnya selutut. Aku juga mencintaimu. Dari dulu, bahkan sejak kali
pertama bertemu. Sungguh tak kuasa tuk mengungkap kalimat itu melalui lisanku.
“Nuna, masih kah kau bersedia menemani
hari-hariku?”
Setelah
lama membisu, akhirnya kepalaku mengangguk kecil.
Bola
matamu membesar bersamaan dengan senyum yang mengembang dibibir. Hingga senyuman
itu sempurna membuat lengkungan seperti bulan Sabit.
“Untuk
hari ini saja,” tuturku, membuat bulan Sabit itu sirna dalam sekejab berganti
awan kelabu menggelayut di wajahmu.
Perlahan
kulepas jemari dari genggamanmu. Berusaha tuk abai dari tatapan yang mengiba.
“Aku
wanita. Sama seperti kekasihmu,” ucapku dengan suara parau bebarengan dengan
sesenggukan yang kian menjadi.
Giliran
kamu yang termangu. Tatapan iba yang memohon itu kemudian beralih mengarah ke
lantai.
“Aku
tahu dia sangat mencintaimu, sama seperti cintamu kepadanya ...”
“Tetapi
itu dulu! Tidak dengan saat ini!” potongmu dengan intonasi meninggi.
“Dengarkan
aku dulu ...”
“Dia pembunuh!” selamu lagi dengan murka yang amat terlihat jelas dari sorot matamu.
“Tidak
Roy, itu bukan kesalahannya. Justru Ibumu yang berusaha kuat tuk melenyapkan
wanita kesayanganmu,” aku berusaha untuk tidak ikut-ikut meninggikan
intonasiku, menahan geram demi
memahamkan Roy atas fakta sebenarnya.
“Jaga bicaramu! Tahu
apa dengan kejadian itu?” Tanyamu dengan ketus sekaligus tidak terima manusia yang telah melahirkanmu disalahkan.
“Aku sahabat kekasihmu! Aku juga menyaksikan
sendiri kejadian itu, Roy! Tetapi seluruh keluargamu sudah terlanjur
menyalahkannya. Aku ingin membantu menceritakan seluruh kronologis kejadian
pada waktu itu. Tetapi langkahku terlanjur membeku. Melihat kemarahan yang
menghujani wanitamu. Dan kala itu masa lalu seakan berputar kembali, merasa seakan
diriku yang tengah berada di posisi istrimu. Dengan terpaksa aku melarikan diri.”
“Apa
katamu? Sa-sa-sahabat?”
Bersambung.....
#OneDayOnePost
#ODOPbatch5