“Assalamu’alaikum,” sapamu
lewat sebuah pesan singkat di WA.
Aku yang kebetulan sedang on, lebih
tepatnya sibuk berdiskusi online dengan teman satu kelompok pembuatan
makalah−sedikit terkejut saat melihat namamu berada di posisi teratas.
Sebelum membuka dan membalas pesan
darimu, terlebih dahulu aku mengecek apakah kamu sedang on atau hanya
sekadar menyapa kemudian pergi tanpa kata.
Ah, sampai aku hafal kebiasaanmu itu.
Aku bisa−atau lebih tepatnya berusaha memahami karakter dari sosokmu. Meskipun
ada sedikit rasa kesal, karena tersebab hal itu sama saja kamu membiarkanku
menunggu tanpa kepastian yang entah di mana ujungnya.
“Kamu sibuk?” pesan kedua
membuyarkan lamunan.
Sedikit gugup, aku mengetuk namamu.
Kamu masih dalam status on. Mungkin karena kamu juga tengah berdiskusi
atau mengobrol ringan dengan seseorang yang entahlah.
Sudah sekitar tiga bulan. Selama itu
pula kosong percakapan antara kita. Aku rindu. Tetapi entah dengan dirimu.
Seandainya saja Tuhan menganugerahiku kemampuan untuk membaca hati seseorang,
mungkin tak perlu lagi aku menerka-nerka perasaanmu.
“Wa’alaikumussalam. Enggak sibuk kok,
ada apa ya?” pesan terkirim, ceklist dua dan
seketika berwarna biru.
“Apa kabar?”
Kabar? Pentingkah baginya
mengenai keadaanku. Apakah baik atau tidak baiknya kondisiku membawa dampak
untuknya?
Ah! mungkin ia hanya basa-basi
semata.
“Alhamdulillah. Bagaimana denganmu?” Aku
menyeruput kopi susu berwadah cangkir biru yang
bertuliskan huruf ‘A’ di sisi tengahnya. Ini cangkir favoritku, pemberian dari
sang murabbi sewaktu acara tukar kado di bulan lalu.
Pesanku terkirim. Ceklist dua. Hanya
saja tidak segera membiru cekslistnya.
Pantaslah. Kamu tak lagi on.
Okelah. Pukul 22.30. Sudah terlalu
larut. Ini waktu biasanya kamu sudah beranjak untuk istirahat malam.
Ah ya. Aku minta maaf karena sebenarnya
telah berbohong padamu. Tugas yang harus terselesaikan pekan ini
teramat banyak. Malam ini saja, aku harus menyelesaikan tiga tugas
sekaligus untuk dikumpulkan, dipresentasikan, esok hari. Aku sibuk, tetapi jika
sekadar mengobrol bersamamu rasanya tak mengganggu. Malah sebaliknya, membantu.
Membantu mood semangat dan bahagia. Entahlah.
Hening. Hanya terdengar alunan simponi
dari para binatang malam di belakang rumah yang
sejak tadi-tadi sudah beraksi.
Pikiran dan jemariku kembali sibuk
dengan tumpukan buku yang sejak dua hari lalu kupinjam dari perpustakaan. Sedang
hatiku? Sibuk berdiskusi dengan sebagian dari jiwaku mengenai perasaan aneh
yang sejak lama tersimpan rapat dalam laci hati.
Lihatlah. Dalam keadaan sesibuk apapun
namamu selalu saja berhasil mengusik hatiku. Tak mengganggu. Tetapi, jadi
timbul berbagai pertanyaan aneh.
Kubuka kembali aplikasi WhatsApp,
pesan tadi masih terabaikan.
Dan tiba-tiba air mataku tumpah.
Setiap memikirkan namamu, rasanya aku selalu tak sanggup. Selalu merasa tak
pantas jika suatu hari janji itu menjadi realita. Nyaliku menciut. Atas pola
pikir, sikap, dan segala-galanya tentangmu−bagiku semua itu terlampau sempurna.
Aku hanyalah si gadis dengan berjuta
kekurangan. Merasa tak satu pun ada yang dapat dibanggakan.
Kupikir tipikal gadismu terlalu tinggi
untuk kucapai.
Dan perasaan ini? Harus kuserahkan ke
mana ? Kepada siapa?
Atau kubiarkan saja ia terkurung dalam
laci. Membusuk digerogoti usia.
Tidak. Rasanya tak sanggup jika harus
mengukir namamu hanya sebagai kenangan masa
lalu. Tidak, sungguh tak ingin hal itu terjadi.
Aku akan melepaskan perasaan ini.
Melayangkan bersama dedo’a. Menitipkan sementara waktu kepada Penguasa
sebenarnya. Jika benar-benar takdir kita berada di garis yang sama. Perasaan
itu pasti kan kembali pulang. Benar begitu kan?
***************
#OneDayOnePost
#Kelas
Fiksi
#Tantangan
Dari Mbak WId