“Bu Nai izin ke
kampus, ada janji untuk mengerjakan tugas kelompok.”
Wajah ibu yang
tadinya riang mendadak jadi suram. Melihat ekspresi itu rasanya membuat
keberanian yang sudah dipersiapkan Naila mengkerut.
“Udah bilang ke
Bapak?” tanya Ibu dengan nada dingin.
Tuh kan, benar. Dugaan
Naila benar-benar terjadi. Ibu tidak akan mengizinkan dia mengendarai motor ke kampus
yang letaknya di kota.
Naila mematikan
motornya yang beberapa menit ia panaskan mesinnya.
“Belum,” jawab
Naila singkat.
“Harusnya kalau
mau ke mana-mana bilang dulu jangan dadakan. Kota itu ramai, emangnya kamu udah
bener-bener bisa? Nanti kalau ada razia bagaimana? Dua ratus ribu sayang loh,
mending buat makan. Ngeluarin motor aja gak bisa. Bla-bla-bla-bla-bla ...”
Itu lagi itu lagi.
Naila sampai hafal apa yang selalu diucapkan ibu setiap kali dirinya meminta
izin untuk pergi seorang diri. Padahal yang selalu diharapkannya adalah sebuah
kalimat yang menggugah semangatnya bukannya malah menjatuhkan dan
menakut-nakuti seperti itu.
Alasan. semua
kata-kata itu hanya alasan untuk menutupi rasa ketidakrelaan ibu bahwa beliau
belum ridha kalau Naila mengendarai motor sendiri. Naila tahu, sebenarnya ibu
khawatir Naila melakukan kesalahan yang sama. Menabrak pengemudi lain hingga dirinya
nyaris berurusan dengan hukum pidana. Tapi, beruntung itu tidak benar-benar
tejadi. Sang korban baik hati memaafkan, asal pihak Naila mau bertanggungjawab
soal biaya pengobatan.
Ah, Naila bisa
apa? Yang dapat ia lakukan hanyalah diam dan membiarkan kata-kata dari mulut
ibunya masuk ke lubang telinga. Ia tidak seperti tetangga yang usianya
sepantaran dengannya, yang sekaligus menjadi teman mainnya. Anak tetangga itu
berani beradu argumen dengan orangtuanya, kekeuh dengan keinginan dan
pendiriannya. Buktinya yang dulu ga bisa motoran sekarang malah jadi pembalap
wanita satu-satunya di tingkat provinsi. ‘Bisa itu karna terbiasa Nai,’
begitulah petuah si gadis anak tetangga.
Bu, Nai juga
ingin membuktikan bahwa Nai juga bisa seperti dia. Nai butuh dukungan Bu. Bukan
sindiran. Bu, andai Tuhan izinkan untuk memilih. Nai ingin punya sosok Ibu
seperti yang di tv-tv. Seperti yang di cerita-cerita fiksi. Yang selalu terucap
dari bibirnya adalah kata-kata menghangatkan, menguatkan, yang mengecup kening
setiap pagi menjelang sambil berkata ‘Bangun sayang’, yang memeluk erat di kala
bersedih, dan turut membuat perayaan kala kebahagiaan datang. Mungkin bagi Nai
itu hanya angan-angan semata.
Perasaan yang sejak tadi dipendam dalam-dalam akhirnya meluap lewat
kelopak mata Naila. Naila sesenggukan. Air mata bercucuran meluruhkan make
up di wajahnya. Ia menyadari bahwa berangan-angan seperti itu sama saja ia
menyalahkan takdir Tuhan. Ingkar terhadap nikmat-Nya. Lihatlah Nai,
seharusnya kamu bersyukur masih dibersamai oleh seorang Ibu. Tak tahu kah kamu
banyak manusia yang tidak seberuntung dirimu.
#OneDayOnePost
#ODOPbatch5
Sabar ya Nai, itu tanda IBU Nai sayang sama anak perempuannya.. :)
BalasHapusIbunya harus tegas dan Nai harus belajar beneran.Hehe
BalasHapus